Kapan Tebu Masuk Nusantara?

TANAMAN tebu (Saccharumofficinarum L) yang tumbuh di Indonesia diduga berasal dari dari Papua New Guinea. Diperkirakan tebu kali pertama ditemukan pada 8.000 sebelum masehi (SM). Ekspansi tanaman ini ke arah barat Papua New Guinea berlangsung pada 6.000 SM. Lalu, tebu mulai menyebar ke Indonesia, Filipina, dan India.

Rahasia tanaman tebu akhirnya terbongkar setelah terjadi ekspansi besar-besaran orang-orang Arab pada abad VII sesudah masehi. Tanaman ini merupakan satu anggota familia rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah. Tetapi, masih dapat tumbuh baik dan berkembang di daerah subtropika. Tebu mampu bertahan hidup di daratan rendah hingga ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.

Tetapi, waktu itu tanaman ini belum mendapatkan perhatian dari bangsa pribumi di Indonesia. Sebab, penduduk asli di Jawa saat itu mengonsumsi gula merah untuk mendapatkan rasa manis dalam makanan. Gula yang disukai adalah gula merah yang mereka buat dari nira kelapa atau nira tebu yang dimasak sampai kental, lalu dijemur sampai keras. Mereka tidak tertarik memproses nira tebu menjadi gula kristal.

Hal ini tercatat dalam buku History of Java yang ditulis Raffles. Dia menuliskan bahwa awalnya tebu tidak dikonsumsi sebagai bahan pemanis, melainkan sebagai minuman penyegar. Yakni, dengan mengunyah batang tebu untuk mendapatkan air tebu.

Secara ekonomi, komoditas gula sangat penting bagi kehidupan, sehingga seluruh kekuatan Eropa membangun koloni di pulau-pulau kecil Karibia. Bahkan, demi memiliki koloni baru untuk mengembangkan tebu, bangsa-bangsa Eropa harus bertempur untuk menguasai pulau-pulau di kawasan Karibia.

Selanjutnya, tanaman tebu dibudidayakan di berbagai perkebunan besar di kawasan-kawasan lain di dunia (India, Indonesia, Filipina dan kawasan Pasifik) untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa dan lokal. Catatan sejarah menunjukkan, VOC yang pertama kali mengekspor gula dari Batavia. Tetapi, belum ada bukti yang bisa memastikan bahwa awal pembuatan gula Kristal di Hindia Belanda berlokasi di Batavia.

Justru, Banten diduga menjadi lokasi pertama pembuatan gula kristal di Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya batu silinder di Museum Banten Lama dan lukisan peta Kota Banten tahun 1595. Baru ketika orang-orang Belanda mulai membuka koloni di Pulau Jawa, kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka dan terus berkembang ke arah timur.

Puncak kegemilangan perkebunan tebu nasional sendiri dicapai awal 1930-an. Saat itu ada sekitar 179 pabrik pengolahan dan produksi gula dengan kapasitas produksi tiga juta ton gula per tahun. Di akhir dekade, karena ada krisis ekonomi yang berujung pada rontoknya industry gula, akhirnya hanya tersisa 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton gula per tahun.

Industri tebu justru mulai pulih saat Perang Pasifik. Tercatat, jumlah pabrik gula saat itu mencapai 93 unit dengan kapasitas produksi mencapai 1,5 juta ton. Tetapi, di akhir perang dunia II jumlahnya kembali berkurang hingga tinggal 30 unit pabrik yang masih aktif.

Melihat perjalanan industri tebu memang tidak bisa dipisahkan dengan kolonialisasi yang dilakukan Belanda. Sistem kolonial Belanda memang hanya ingin memanfaatkan sumber daya manusia dan kekayaan alam yang murah. Apalagi, Pulau Jawa dikenal sebagai daerah yang subur untuk tebu. Tidak mengherankan, Jawa sudah menjadi sentra penghasil gula sejak kolonialisasi Belanda. Mayoritas pabrik gula yang masih bertahan sekarang pun merupakan “warisan” Belanda.

Gula menjadi komoditas unggulan di Eropa, selain rempah-rempah. Karena pola yang dijalankan berbasis sistem kolonial, pengembangan perkebunan dan industri tebu saat itu tidak bisa dinikmati oleh rakyat.

Setelah Indonesia merdeka dari kolonialisme, berbagai perkebunan tebu dan pabrik gula dinasionalisasi sebagai aset nasional. Hal itu terjadi di era 1950-an. Pengelolaan aset kebun dan pabrik diserahkan pemerintah Indonesia kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak hanya pada tebu, nasionalisasi aset perkebunan juga terjadi pada komoditas kopi, kakao, maupun kelapa sawit.

Saat ini agribisnis tebu milik pemerintah hanya ada di beberapa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). PT Perkebunan Nusantara tergabung dalam holding PTPN III, yaitu PTPN VII di Lampung, PTPN IX di Jawa Tengah, PTPN X danXI di Jawa Timur, serta PTPN XIV di Sulawesi Selatan. Selain itu, ada beberapa pabrik gula swasta yang berdiri di Indonesia.

Total ada sekitar 64 pabrik gula yang beroperasi di seluruh tanah air. Namun, dari sisi penyebaran secara geografis masih tidak proporsional. Sebagian besar pabrik gula ada di Jawa Timur. Jumlahnya mencapai lebih dari 30 unit pabrik. Tidak heran, penyangga terbesar industri gula nasional ada di Jawa Timur.

Pemerintah sejatinya sudah mencanangkan pogram swasembada gula sejak 2002. Untuk mendukung hal itu, pemerintah juga telah membentuk Dewan Gula Indonesia setahun berikutnya. Tetapi, hingga kini swasembada gula itu belum kunjung tercapai.

Karena itu, sampai sekarang Indonesia masih mengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan nasional. Penyebab belum tercapainya swasembada gula cukup kompleks. Antara lain, stagnasi riset pergulaan, pabrik-pabrik gula di Jawa yang ketinggalan teknologi, tingginya tingkat konsumsi gula nasional, serta sedikitnya investor yang siap membuka lahan tebu di luar Jawa.

Namun, berbicara tebu sebenarnya bukan hanya membahas tentang gula. Sebab, produk turunan tebu sangat banyak. Tetapi, produk turunan non gula di Indonesia kurang berkembang. (*)

Keatas