GULA menjadi salah satu komoditas pangan startegis di Indonesia. Karena itu, pemerintah selalu menjaga stabilitas gula, baik dari sisi pasokan maupun harga. Dari sisi pasokan, ketersediaan gula harus mencukupi. Sedangkan dari sisi harga, pemerintah berusaha mengendalikan agar tidak terlalu tinggi.
Karena itu, pemerintah selalu membuka opsi impor gula untuk menjaga pasokan. Terutama, untuk memenuhi kebutuhan gula industri. Bukan hanya membuka opsi impor, pemerintah juga membuka peluang swasta untuk berinvestasi pabrik gula.
Tidak mengherankan, pabrik-pabrik gula BUMN yang sudah berdiri sejak era kolonial harus mampu menjaga eksistensi bisnisnya. Sebab, tantangan pabrik gula BUMN yang mayoritas warisan Belanda menghadapi sejumlah tantangan, seperti teknologi yang ketinggalan dan inefisiensi.
Karena itu, mau tidak mau, manajemen pabrik gula harus mampu mendiversifikasi bisnisnya. Artinya, pabrik gula tidak boleh lagi terpaku hanya memproduksi gula. Pabrik gula harus bisa menciptakan produk komersial dari produk samping gula.
Setiap bagian dari tanaman tebu serta hasil ekstraknya harus bisa dimanfaatkan dalam industri yang berbeda. Sebab, ada hampir 125 industri yang bisa muncul dari pengolahan bagian-bagian tebu.
Salah satunya adalah pengolahan tetes tebu yang bisa dijadikan bioetanol, salah satu jenis sumber energi yang baru terbarukan. Selain itu, tetes juga bisa menjadi bahan baku pembuatan MSG. Belum lagi turunan tebu yang lain, yaitu produk biomassa. Dalam proses pengolahan tebu, ada produk biomassa yang tak dapat dimanfaatkan dalam pemrosesan gula. Demikian pula dengan ampas tebu yang dihasilkan.
AMATI BIBIT: Dr. Luh Putu Suciati, SP, M.Si (kiri), dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember, di laboratorium tebu Jengkol, Kediri, milik PTPN X.
Peluang-peluang inilah yang kurang mampu ditangkap oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Termasuk, pengolahan produk gula. Indonesia masih belum bisa mendiversifikasikan hasil produknya ke dalam beragam bentuk.
Di pabrik gula mancanegara seperti India dan Thailand, terdapat beragam varian produk yang dihasilkan. Berbeda dengan pabrik gula di Indonesia yang sudah terdoktrin sejak zaman Belanda yang hanya memproduksi gula kristal putih.
Padahal, selalu ada pasar yang muncul dengan diversifikasi produk gula jadi. Mulai dari yang berbentuk gula cair, kubus, hingga gula putih bubuk. Jika ditelisik lebih dalam, terdapat pasar di masyarakat yang bisa disasar secara maksimal untuk mendistribusikan diversifikasi produk gula tersebut.
Memang, ada kendala yang dihadapi industri terkait diversifikasi tebu. Beberapa diantaranya adalah alatnya yang belum tersedia dan kajian yang belum banyak yang dilakukan. Sebab, untuk melakukan kajian membutuhkan waktu yang cukup panjang. Begitu pula dengan penyesuaian teknologi yang digunakan, perlu peran perguruan tinggi dalam mendukung teknologi di pabrik gula.
Bila tidak mendiversifikasi bisnisnya, cepat atau lambat pabrik gula akan mati. (*)